Namun semua cendikiawan tersebut jelas
membahas wayang Indonesia dan menyatakan bahwa wayang itu sudah ada dan
berkembang sejak zaman kuna, sekitar tahun 1500 SM, jauh sebelum agama dan
budaya dari luar masuk ke Indonesia.
Jadi, wayang dalam bentuknya yang masih
sederhana adalah asli Indonesia, yang dalam proses perkembangan setelah
bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjadi
ujud dan isinya seperti sekarang ini. Sudah pasti perkembangan itu tidak akan
berhenti, melainkan akan berlanjut di masa-masa mendatang.
Wayang yang kita lihat sekarang ini
berbeda dengan wayang pada masa lalu, begitu pula wayang di masa depan akan
berubah sesuai zamannya. Tidak ada sesuatu seni budaya yang mandeg atau berhenti. Seni budaya akan selalu berubah dan
berkembang, namun perubahan seni budaya wayang ini tidak berpengaruh terhadap
jati dirinya dan termaktub dalam sejarah wayang, karena wayang telah memiliki
landasan yang kokoh. Landasan utamanya adalah sifat ‘hamot. hamong,
hamemangkat’ yang menyebabkannya memiliki daya tahan dan daya kembang wayang
sepanjang zaman.
Hamot adalah keterbukaan untuk menerima
pengaruh dan masukan dari dalam dan luar, hamong adalah kemampuan untuk
menyaring unsur-unsur baru itu sesuai nilai-nilai wayang yang ada, untuk
selanjutnya diangkat menjadi nilai-nilai yang cocok dengan wayang sebagai bekal
untuk bergerak maju sesuai perkembangan masyarakat. Hamemangkat atau me-mangkat
sesuatu nilai menjadi nilai baru. Dan, ini jelas tidak mudah. Harus melalui
proses panjang yang dicerna dengan cermat. Wayang dan seni pedalangan sudah
membuktikan kemampuan itu, berawal dari zaman kuna, zaman Hindu, masuknya agama
Islam, zaman penjajahan hingga zaman merdeka, dan pada masa pembangunan
nasional dewasa ini. Kehidupan global juga merupakan tantangan dan sudah barang
tentu wayang akan diuji ketahanannya dalam menghadapinya.
Periodisasi
Periodisasi perkembangan budaya wayang
juga merupakan bahasan yang menarik. Bermula zaman kuna ketika nenek moyang
bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Dalam alam kepercayaan
animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang sudah meninggal masih tetap
hidup, dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan Roh-roh itu bisa
bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari
animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa,
tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan dimintai pertolongan.
Untuk memuja roh nenek moyang iai,
selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan
patung Roh nenek moyang yang dipuja ini disebut ‘hyang’ atau ‘dahyang’.
Orang
bisa berhubungan dengan para hyang ini untuk minta pertolongan dan
perlindungan, melalui seorang medium yang disebut ‘syaman’. Ritual pemujaan
nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukan
wayang. Hyang menjadi wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas
dan syaman menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan
pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa asli yang
hingga sekarang masih dipakai. Jadi, wayang itu berasal dari ritual kepercayaan
nenek moyang bangsa Indonesia disekitar tahun 1500 SM.
Berasal dari zaman animisme, wayang
terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai pada masuk nya agama Hindu di
Indonesia sekitar abad keenam, Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan
peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai,
Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun
berkembang pesat, mendapat fondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang
bermutu tinggi.
Pertunjukan roh nenek moyang itu
kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot, Ramayana dan
Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang dalam rangka ritual
agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai ditulis
berbagai cerita tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit
kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di
candi-candi, karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu
Panuluh, Empu Tantular dan lain-lain.
Karya sastra wayang yang terkenal dari
zaman Hindu itu antara lain Baratayuda, Arjuna Wiwaha, Sudamala, sedangkan
pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan penciptaan peraga wayang
terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan pentas yang
bagus dengan cerita Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran wayang mencapai mutu
seni yang tinggi sampai-sampai digambarkan ‘hananonton ringgit manangis
asekel’, tontonan wayang sangat mengharukan. Menarik untuk diperhatikan cerita
Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal dari India, telah diterima dalam
pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang. Wayang
seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabarata. Namun perlu dimengerti
bahwa Ramayana dan Mahabarata versi India itu sudah banyak berubah. Berubah
alur ceritanya; kalau Ramayana dan Mahabarata India merupakan cerita yang
berbeda satu dengan lainnya, di Indonesia menjadi satu kesatuan.
Dalam pewayangan cerita itu bermula
dari kisah Ramayana terus bersambung dengan Mahabarata, malahan dilanjutkan
dengan kisah zaman kerajaan Kediri. Mahabarata asli berisi 20 parwa, sedangkan
di Indonesia tinggal 18 parwa.
Yang sangat menonjol perbedaannya
adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu, lebih-lebih setelah masuknya
agama Islam. Falsafah Ramayana dan Mahabarata yang Hinduisme diolah sedemikian
rupa sehingga menjadi diwarnai nilai-nilai agama Islam. Hal ini antara lain
tampak pada kedudukan dewa, garis keturunan yang patriarkhat, dan sebagainya.
Sejarah Wayang diperkaya lagi dengan
begitu banyaknya cerita gubahan baru yang bisa disebut lakon ‘carangan ‘, maka
Ramayana dan Mahabarata benar-benar berbeda dengan aslinya. Begitu pula,
Ramayana dan Mahabarata dalam pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan
Mahabarata yang berkembang di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat
lainnya. Ramayana dan Mahabarata dari India itu sudah menjadi Indonesia karena
di warnai oleh budaya asli dan nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara.
Di Indonesia, walaupun cerita Ramayana
dan Mahabarata sama-sama berkembang dalam pewayangan, tetapi Mahabarata digarap
lebih tuntas oleh para budayawan dan pujangga kita. Berbagai lakon carangan dan
sempalan, kebanyakan mengambil Mahabarata sebagai inti cerita.
Masuknya agama Islam di Indonesia pada
abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.
Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan. Pembaharuan besar-besaran,
tidak saja dalam bentuk dan cara pergelaran wayang, melainkan juga isi dan
fungsinya. Berangkat dari pembahan nilai-nilai yang dianut, maka wayang pada
zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian dengan zamannya. Bentuk
wayang yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief
candi-candi, distilir menjadi bentuk imajinatif seperti wayang sekarang ini.
Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti
kelir atau layar, blencong atau lampu, debog yaitu pohon pisang untuk
menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.
Para wali dan pujangga Jawa mengadakan
pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan
keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah
Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser
dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan
komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan
perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk
komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak.
Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.
Perkembangan wayang semakin meningkat
pada masa setelah Demak, memasuki era kerajaan-kera-jaan Jawa sepeti Pajang,
Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali pujangga-pujangga
yang menulis tentang wayang, menciptakan wayang-wayang baru. Para seniman
wayang banyak membuat kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang.
Begitu pula para dalang semakin
profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak henti-hentinya terus
mengembangkan seni tradisional ini. Dengan upaya yang tak kunjung henti ini,
membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan, wayang dan seni
pedalangan menjadi seni yang bermutu tinggi, dengan sebutan ‘adiluhung’. Wayang
terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus menyampaikan
pesan-pesan moral keutamaan hidup.
Dari landasan perkembangan wayang
tersebut di atas, tampak bahwa memang wayang itu berasal dari pemujaan nenek
moyang pada zaman kuna, dikembangkan pada zaman Hindu, kemudian diadakan
pembaharuan pada zaman masuknya agama Islam dan Blencong, alat penerangan pada
pertunjukkan Wayang Kulit, juga mempunyai makna simbolik memanfaatkan masukan
serta pengaruh budaya lain baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. terus
mengalami perkembangan dalam zaman kerajaan-kerajaan Jawa, zaman penjajahan, zaman
kemerdekaan hingga kini.
Indonesia
Asli
Asal-usul wayang menjadi jelas, asli
Indonesia yang berkembang sesuai budi daya masyarakat dengan Wayang Indonesia
memiliki ciri khas yang merupakan g jatidirinya. Sangat mudah dibedakan dengan
seni budaya sejenis yang berkembang di India, Cina, dan negara-negara dikawasan
Asia Tenggara. Tidak saja berbeda bentuk serta cara pementasannya, cerita
Ramayana dan Mahabarata yang digunakan juga berbeda. Cerita terkenal ini sudah
digubah sesuai nilai dan kondisi yang hidup dan berkembang di Indonesia.
Keaslian wayang bisa ditelusuri dari
penggunaan bahasa seperti wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang: kotak, dan
lain-lain. Kesemuanya itu bahasa Jawa asli. Berbeda misalnya dengan cempala
yaitu alat pengetuk kotak, adalah bahasa Sanskerta. Wayang asli menerima
pengaruh dari India. Bahasa dalam wayang ini terus berkembang secara pelan
namun pasti dari bahasa Jawa Kuna atau bahasa Kawi, bahasa Jawa Baru dan
bukan tidak mungkin kelak wayang ini akan menggunakan bahasa Indonesia.
Wayang selalu menggunakan bahasa campuran yang biasa disebut ‘basa
rinengga” ;maksudnya bahasa yang telah disusun indah sesuai kegunaannya. Dalam
seni pedalangan, kedudukan sastra amat penting dan harus dikuasai dengan baik
oleh para dalang.
Bentuk peraga wayang juga mengujudkan
keaslian wayang Indonesia, karena bentuk stilasi peraga wayang yang imajinatif
dan indah itu merupakan proses panjang seni kriya wayang yang dilakukan oleh
para pujangga dan seniman perajin Indonesia sejak dahulu. Begitu majunya seni
kriya wayang ini, banyak yang berpendapat bahwa dalam aspek kriya dan seni
rupa. wayang sudah mencapai tingkat ‘sempurna’. Penilaian ini obyektif, tidak
berlebihan, apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk peraga wayang atau seni
boneka dari mancanegara.
Sarat
dengan Falsafah
Kekuatan utama budaya wayang, yang juga
merupakan jati dirinya, adalah kandungan nilai falsafahnya. Wayang yang tumbuh
dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil menyerap berbagai nilai-nilai
keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan dalam berbagai pertunjukan wayang.
Bertolak dari pemujaan nenek moyang,
wayang yang sudah sangat religius, mendapat masukan agama Hindu, sehingga
wayang semakin kuat sebagai media ritual dan pembawa pesan etika. Memasuki
pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai tontonan yang
mengandung tuntunan yaitu acuan moral budi luhur menuju terwujudnya ‘akhlaqul
karimah”
Proses akulturasi kandungan isi wayang
itu meneguhkan posisi wayang sebagai salah satu sumber etika dan falsafah yang
secara tekun dan berlanjut disampaikan kepada masyarakat. Oleh karena itu ada
pendapat, wayang itu tak ubahnya sebagai buku falsafah. yaitu falsafah
Nusantara yang bisa dipakai sumber etika dalam kehidupan pribadi dan
bermasyarakat.
Wayang bukan lagi sekedar tontonan
bayang-bayang atau ‘shadow play’, melainkan sebagai ‘wewa-yangane ngaurip’
yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang, dapat dinalar dan
dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan
hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang
salah. Dari pertujukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal
saleh guna mendapatkan keridhoan Illahi.
Wayang juga dapat secara nyata
menggambarkan konsepsi hidup ‘sangkan paraning dumadi’, manusia berasal dari
Tuhan dan akan kembali keharibaan-Nya. Banyak ditemui seni budaya semacam
wayang yang dikenal dengan ‘puppet show’, namun yang seindah dan sedalam
maknanya sulit menandingi Wayang Kulit Purwa.
Itulah asal usul wayang Indonesia, asli
Indonesia yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Secara dinamis
mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar