Wayang salah
satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak
karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni
musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni
perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga
merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan,
pemahaman filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah
kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau
Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau
Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan
adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk
cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk
menyesuaikannya
dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga
menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para
dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu
yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya,
kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan
dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya
budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada
makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk
selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het
Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau
menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa.
Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit
yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang
dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
Asal Usul
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia
ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali
di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan
dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan
hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang
termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse,
dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya,
bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan
religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting
dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam
pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah
teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa
lain. Sementara itu,
pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan
agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen,
Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana
Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah
sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak
diimpor dari negara lain.
Budaya wayang diperkirakan sudah lahir
di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja
Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang
makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis
oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab
Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah
Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan
pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya
menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya
dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya,
karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk
pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita
asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130-1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan
tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga.
Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan
kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan
wayang. Mengenai saat
kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan
Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman
neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu
didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research
in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia
Indonesia halaman 987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata
`wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada
pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas
antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton
hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada
kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan
sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak.
Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum
ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang,
sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak
berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita
Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan
sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih
banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita
wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali
Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita
Damarwulan.
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak
abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep
religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan
Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan
cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya.
Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang,
termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus
berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai
dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita
wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang
disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari
cerita pakem. Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam
budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita
wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah
Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun
menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di
pulau Jawa dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah
diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak
remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping
itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah
kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di
Kulonprogo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar