TEMBANG MACAPAT
Tembang merupakan karya sastra dengan aturan tertentu yang
permbacaannya dilakukan dengan lagu tertentu berlaras atau bernuansa laras
slendro dan pelog. Teks pada tembang macapat berbentuk puisi, menggunakan
bahasa Jawa baru yang diikat oleh persajakan meliputi guru gatra, guru lagu,
dan guru wilangan dan mengandung nada berbentuk lagu.
1. Guru gatra ialah
jumlah larik pada setiap pada.
2. Guru lagu ialah huruf
vocal terakhir pada setiap akhir gatra.
3. Guru wilangan ialah
jumlah wanda atau suku kata pada setiap gatra.
Teks lagu macapat ini mengandung nilai-nilai pendidikan,
moral, spiritual, dan lain-lain yang diambil dari berbagai sumber seperti
Wulangreh, Wedhatama, Tripama, dan sumber lainnya. Harapannya, agar nilai-nilai
luhur yang dipesankan oleh para pujangga kita melalui teks macapat ini dapat
direnungkan.
Jenis Dan Makna Tembang Macapat
1.
MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki
dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di
rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke
bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak
nyamannya berada di alam mercapadha.
Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harusnetepi
titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa
universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos,
tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaranmantra tanpa
tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan
lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu
dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si
jabang bayi idaman hati.
Tembang
Mijil ngemu sifal : prihatin, ngemurasa, lega
2.
MASKUMAMBANG
Setelah si jabang bayi lahir, membuat hati orang tua bahagia
tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat
tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi
membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan
tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan
baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang
menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang,
dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan
emas segantang. Menjadi
tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah
dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
Tembang
maskumambang ngemu sifat : ngeres, nelangsa.
3. KINANTHI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang
menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi
kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati
menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua
selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan
jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah
hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan
dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
Tembang
kinanthi ngemu sifat : tresna, asih, seneng.
4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi
berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga.
Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu
berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah
besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak,
batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka
segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia
masih enom (muda)
hidupnya sering salah kaprah.
Tembang
sinom ngemu sifat : grapyak.
5.
DHANDHANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin
berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama,
budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar
melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa.
Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu
angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru
dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan
nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun
tak akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi
bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting
hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri
sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit,
sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung
sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih
muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh
rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga
mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa
benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka
panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya
Tembang
dhandhanggula ngemu sifat : luwes, ngresepake.
6.
ASMARANDANA
Asmaradana atau asmara
dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga.
Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini
miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda.
Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup
menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada.
Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena.
Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya
akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua
membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan
memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru.
Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah
menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu.
Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah
saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau
polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan
menjadi seteru.
Tembang
asmarandana ngemu sifat : kesemsem.
7.
GAMBUH
Gambuh atau Gampang
Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang
yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak
pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar.
Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin
diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang
berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari
jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah
dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang.
Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah
menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata
orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada yang
kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan
berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah
ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang
mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah
dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang
dibangga-banggakan itu menjadi mati.
Tembang
gambuh ngemu sifat : semanak, lucu, guyon.
8.
DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang
purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja
misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal
berbagai istilah menggunakan suku kata dur/dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif
(awon). Sebut saja misalnya
: duraatmoko, duroko, dursila, dura
sengkara, duracara (bicara
buruk), durajaya,dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama, udur,
dst. Tembang Durma,
diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia
yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari
menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara
manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun
merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris
dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak
mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak
peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka
bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka
hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
Tembang
durma ngemu sifat : galak, nesu.
9.
PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh
kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia
terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan,
hingga kini yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini
tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia rentan yang hina dina sudah tak
berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah
tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah
penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat
apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa.
Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah
menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih
banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, yang
ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan
datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain
loh bentar lagi menjadi bathang..!!
Tembang
pangkur ngemu sifat : nepsu kang prihatin.
10.
MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya
nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba
sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali.
Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri.
Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka
dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan
yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti.
Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh
Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana,
sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama.
Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun
tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya
menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk
surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini
manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam
meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci,
iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia
merasa paling pintar, namun segala keburukannya dianggapnya demi membela
diri. Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti,
penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
Tembang
megatruh ngemu sifat : getun, nglangut.
11.
POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah
mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak
dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru
menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang
penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk
embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri.
Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak
terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi.
Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus
dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di
sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran
kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang
yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak
terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot
menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah
sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara
yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang
nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus
pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram
mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak
satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami
dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan
keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu
kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan.
Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan
justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina.
Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili.
Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados
niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka
menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang
salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak
jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.